CIREBON RAYA | JAKARTA — Sistem ketatanegaraan Indonesia yang dikendalikan dengan hegemoni partai politik mencerminkan tegaknya kedaulatan elite, bukan rakyat. Sistem itu pun dinilai makin jauh dari Pancasila.
Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyoroti berubahnya UUD 1945 menjadi UUD 2002, menimbulkan sistem kepartaian yang powerfull dan justru mengebiri kedaulatan rakyat.
“Untuk memperkuat sistem Public Meaningful Participation dalam penyusunan kebijakan dan pembuatan Undang-Undang, maka Utusan Daerah dan Utusan Golongan diberi hak dan kewenangan untuk melakukan review atas Rancangan Undang-Undang yang akan dibahas oleh DPR RI,” ujar LaNyalla disitat RMOL, Rabu (3/4).
“Misalnya, DPR RI akan membahas RUU Kesehatan, maka para tenaga medis, para profesional medis, dan akademisi berlatar Kesehatan yang duduk di dalam Utusan Golongan, berhak dan memiliki kewenangan memberi review yang wajib dipertimbangkan oleh DPR RI. Dengan begitu partisipasi publik benar-benar bermakna (meaningful),” tambahnya..
Senator asal Jawa Timur itu juga menghendaki adanya komposisi anggota DPR dari perseorangan, atau non-partai. Hal itu dilakukan melalui pemilu seperti pemilu DPD RI, yaitu coblos foto calon perseorangan yang berbasis provinsi.
“Sistem anggota DPR yang terdiri dari unsur parpol dan perseorangan sudah menjadi tren Internasional. Selain sudah berjalan di 12 negara di Uni Eropa, Afrika Selatan menyusul mengadopsi sistem tersebut pada April 2023 lalu. Mengapa menjadi tren? Karena DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang harus dipastikan terjadi check and balances,” ungkapnya.
“Karena undang-undang itu bersifat memaksa secara hukum, memiliki law enforcement. Sangat tidak adil, bila alat pemaksaan hukum yang mengikat 275 juta penduduk Indonesia, kita serahkan pembentukannya hanya kepada partai politik, yang pada prakteknya tunduk kepada arahan ketua umum. Artinya UU hanya kita serahkan pembentukannya kepada 8 atau 9 orang ketua partai saja,” tegas dia.
Di lain sisi, LaNyalla mengusulkan agar Pemilu DPR atau legislatif idealnya hanya mencoblos gambar partai.
“Jadi proporsional tertutup, sehingga partai politik dapat mengirim kader-kader terbaik dan kader-kader militannya untuk duduk di kursi DPR maupun DPRD. Bukan karena suara caleg terbanyak. Karena yang terpilih belum tentu kader militan partai. Bisa saja, publik figur yang baru saja masuk partai untuk jadi caleg. Lantas lima tahun berikutnya pindah partai begitu saja,” pungkasnya.