CIREBON RAYA | JAKARTA — Komite III DPD RI menggelar rapat kerja (raker) dengan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono untuk membahas isu-isu kesehatan di Indonesia, pada Senin (26/8/2024).
Dalam raker tersebut, Komite III DPD RI meminta agar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk dapat mewujudkan pemerataan layanan kesehatan yang masih belum merata di berbagai daerah.
“Kejadian pandemi membawa kesadaran akan pentingnya penguatan sistem kesehatan nasional melalui proses transformasi di bidang kesehatan secara menyeluruh,” ucap Ketua Komite III DPD RI Hasan Basri.
Senada, Wakil Ketua Komite III DPD RI Abdul Hakim juga meminta pemerintah harus dapat mengalokasikan anggaran sektor kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan dalam pemerataan pelayanan kesehatan di daerah yang masih timpang. Menurutnya, masih banyak daerah yang tidak memiliki fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, ataupun instalasi kesehatan dengan layanan kesehatan yang lengkap.
Hal ini membuat masyarakat menjadi kesulitan dalam memperoleh pelayanan kesehatan ketika membutuhkannya.
"Layanan kesehatan masih belum merata, layanan pendidikan juga masih demikian, di pelosok dan daerah terpencil, layanan kesehatan masih tertinggal. Banyak ibu hamil yang tidak tertolong akhirnya meninggal di pertengahan jalan, digotong dengan tandu, itu masih terjadi," jelas Abdul Hakim.
Terkait pemerataan layanan kesehatan, Wakil Ketua Komite III DPD RI Muslim M Yatim menilai, Kemenkes harus dapat mengupayakan pemerataan tenaga kesehatan terutama dokter spesialis di berbagai daerah. Salah satunya adalah dengan meningkatkan porsi pendidikan kedokteran di berbagai perguruan tinggi.
"Saya tiap ke daerah, banyak puskesmas yang tidak berfungsi, hanya ada satu bidan yang harus bisa apa saja, ini dikarenakan kurang dokter," imbuhnya.
Tidak hanya pemerataan layanan kesehatan, Anggota Komite III DPD RI juga menyoroti terkait mahalnya obat-obatan di masyarakat. Senator dari NTB TGH Ibnu Halil dan Senator dari Bengkulu Eni Khairani berharap agar Kemenkes dapat mengupayakan penyediaan obat dengan harga terjangkau. Mereka menilai, mahalnya harga obat yang terjadi saat ini dikarenakan sebagian besar bahan baku diperoleh dengan impor dari negara lain. Ibnu dan Eni menyarankan agar Kemenkes mulai mengembangkan riset terkait kandungan tanaman obat di Indonesia sebagai bahan baku produksi obat.
"Beragam hayati yang kita miliki di Indonesia yang bisa dipakai sebagai bahan-bahan obatan sebagai kekayaan yang luar biasa. Itu kalau kita betul-betul manfaatkan, maka saya yakin kita tidak bergantung ke negara lain," jelas Ibnu.
Dalam raker tersebut, Dante Saksono Harbuwono mengakui bahwa pemerataan tenaga kesehatan, terutama dokter spesialis masih belum dilakukan secara ideal. Dia menjelaskan bahwa kebutuhan dokter di Indonesia sebanyak 140 ribu, sedangkan dalam satu tahun, perguruan tinggi hanya mampu mencetak 12 ribu lulusan dokter umum.
"Ada dua puluh dua perguruan tinggi yang bisa mendidik doter spesialis, dengan jumlah hanya dua ribu tujuh ratus, dan itu masih kurang. Maka kita melakukan pendidikan spesialisas berbasis rumah sakit. Ini sudah disepakati antara Kemenkes dan Kemendikbud," jelasnya.
Dante pun sepakat bahwa tingginya harga obat dikarenakan masih bergantungnya produksi obat dengan mengambil bahan baku dari negara lain. Terkait hal itu pemerintah sedang meningkatkan penggunaan bahan baku obat produksi dalam negeri, dengan cara memberikan fasilitasi change source atau pergantian sumber bahan baku impor dengan bahan baku produksi dalam negeri.
"Obat murah bisa dicapai kalau kita bisa membuat bahan baku obat di dalam negeri. Sehingga penguatan industri kimia harus menjadi mandatory untuk bisa membuat obat yang murah," jelasnya. (*)